JAKARTA – Ketua DPR Marzuki Alie tidak mau polemik soal penyerahan rekaman rapat di Istana Negara, 9 Oktober 2008, yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggelinding.
Pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang hanya memberikan rekaman itu kepada KPK, dalam penilaian Marzuki, sebenarnya sudah tepat.
Menurut Marzuki, sesuai hasil rapat paripurna, tugas Tim Pengawas (Timwas) Kasus Bank Century memang mengawasi proses penegakan hukum dalam kasus Century. Bukan untuk melakukan fungsi penegakan hukum itu sendiri.
’’Jadi, saya melihatnya secara normatif saja. Yang meminta rekaman itu timwas. Timwas itu bukan pansus angket dan DPR bukan lembaga penegak hukum sehingga dipertanyakan juga kewenangan DPR untuk meminta dokumen tersebut,” kata Marzuki di gedung DPR kemarin (25/9).
Permintaan rekaman rapat itu kali pertama memang muncul dari DPR. Tepatnya dalam rapat Timwas Century dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Antasari hadir dalam rapat 9 Oktober 2008 yang membicarakan penyelamatan Indonesia dari krisis. Dia juga yang belakangan ’’membocorkan’’ rapat itu kepada publik.
Tetapi, pemerintah justru langsung menyerahkan rekaman rapat itu kepada KPK. Bahkan saat mengantarkan rekaman rapat kepada KPK, Senin lalu, Seskab Dipo Alam mengatakan bahwa rekaman rapat itu tidak akan disampaikan kepada DPR. Pemerintah beralasan DPR bukan institusi penegak hukum.
Marzuki mengakui setelah rapat timwas dengan Antasari, dirinya menandatangani surat permintaan rekaman rapat tersebut kepada pemerintah. Tetapi, proses itu dilakukan sebatas untuk memenuhi tanggung jawab administratif. ’’Saya hanya sebagai pelaksana administrasi dari keputusan Timwas Century. Dalam posisi itu, pimpinan DPR tidak bisa menyetop keputusan apa pun yang diambil pada level komisi, pansus, tim, dan sebagainya,” tegas dia.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung menuturkan, permintaan DPR kepada presiden disampaikan secara tertulis dan resmi dengan tanda tangan Marzuki selaku ketua DPR. Karena itu, jawaban kepada DPR juga harus tertulis. Tak cukup hanya dengan jawaban lisan Seskab Dipo Alam kepada media massa. ’’Saya terus terang tidak mau mengomentari keterangan yang hanya lisan. Karena ini hubungan antarlembaga, bukan bersifat personal. Maka, kalau ada hal-hal di luar apa yang diminta oleh dewan, tentunya disampaikan secara tertulis dan resmi kepada lembaga ini,” tegas Pram –sapaan akrab Pramono Anung.
Apakah sikap pemerintah ini suatu pengabaian terhadap DPR? ’’Saya tidak melihat itu. Boleh-boleh saja beliau (Dipo Alam) menyampaikan ke mana pun. Tetapi yang jelas, kewajiban pemerintah secara resmi menjawab secara tertulis apa yang menjadi surat DPR,” jawabnya.
Sementara itu, berbeda dengan Marzuki, Fraksi Partai Demokrat (FPD) justru menyatakan tidak keberatan dengan permintaan dibukanya rekaman rapat di kantor presiden pada 9 Oktober 2008 oleh Timwas Century. ’’Untuk memperjelas apa yang menjadi desas-desus selama ini, kami tidak keberatan dan sangat mendukung untuk dibuka,” kata Wakil Sekretaris FPD Achsanul Qosasi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Terkait telah diserahkannya rekaman rapat ke KPK oleh Sekkab Dipo Alam, anggota Timwas Century itu merasa tidak perlu ada yang dipersoalkan. Yang terpenting, timwas melalui pimpinan DPR juga sudah meminta secara resmi ke presiden terkait rekaman tersebut. ’’Mestinya DPR dikasih juga, timwas juga butuh. Kasih saja ke timwas, tidak apa-apa,’’ tandas Achsanul.
Sejumlah anggota timwas sudah memprotes keras keputusan pemerintah yang memilih hanya menyerahkan rekaman ke KPK. Bambang Soesatyo dari Partai Golkar menyebut sikap Dipo terhadap DPR tidak kooperatif. Dia menegaskan DPR memang bukan lembaga penegak hukum. Tetapi, dalam konteks fungsi dan tugas pengawasan, DPR berhak mengumpulkan bahan dan bukti-bukti.
Bambang mencontohkan beberapa waktu lalu timwas juga bisa meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit forensik kasus Century dan menyerahkan hasilnya kepada DPR secara tepat waktu.
Kritik lebih keras datang dari anggota timwas dari Fraksi Partai Hanura Akbar Faisal. Dia menyebut Dipo Alam sebagai pejabat negara yang tidak paham konstitusi dan telah melecehkan DPR. (jpnn/c1/ary)
sumber : www.radarlampug.co.id – Rabu, 26 September 2012 | 04:15 WIB